Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media

Oleh : Anang Hermawan[1]

The political economy of information, as reference, for a communication scientific field, is widely used as a generic term for the political and economic investigation of media discourse. As media construction, an information, frequently represent political and economical interests. Critical Discourse Analysis (CDA) become one important model to analyse relationship between reality,, ideology and power relation in media. Interdiciplinary combination of linguistic theory, critical theory, and political economics thought used to analyse how political or economical interests play in media appearance.

Pendahuluan:

            Kajian tentang ekonomi politik informasi boleh jadi merupakan kajian yang relatif baru dalam studi ilmu komunikasi. Istilah ’ekonomi politik informasi’ atau acapkali dipertukarkan dengan istilah ’ekonomi politik media’ merupakan istilah generik yang digunakan secara luas untuk mengkombinasikan kerangka teoritik komunikasi dengan kerangka teoritik politik dan ekonomi. Keterikatan pada dimensi ekonomi dan politik menjadikan informasi menjadi ajang yang rentan terhadap pengaruh keduanya. Sebagai entitas yang dikonstruksi media, apa yang disebut sebagai ’informasi’ acapkali merepresentasikan kepentingan ekonomi sekaligus politik tertentu. Oleh karenanya tulisan ini akan mencoba memulai dari perspektif mikro, yakni bagaimana kita terlebih dahulu memandang informasi untuk lantas manapaki level yang lebih makro yakni bagaimana perspektif ekonomi politik lazim digunakan dalam melihat media.

Secara epistemologis, menemukan relasi antara dimensi ekonomi dan politik dalam kerja media tentu saja menjadi pertanyaan paling menarik. Berangkat dari apa yang kita konsumsi sehari-hari-hari melalui media; berita, iklan, film, atau berbagai tayangan hiburan, kita akan menengarai terlebih dahulu pandangan ilmuwan sosial terhadap isi dari produk media itu. Sederhananya, apapun yang kita terima dari media itulah yang dalam tulisan ini kita sebut sebagai informasi. Informasi tersusun atas serangkaian bahasa yang terstruktur menurut aturan kelaziman pemakaian, sehingga antara iklan dan berita tentu mempunyai jenis, kadar dan muatan tersendiri. Sehingga dalam kajian mengenai ekonomi politik informasi, penekanan terhadap bahasa menjadi penting. Bahkan tulisan ini mencoba menengarai problem ekonomi dan politik media dengan berpijak pada analisis bahasa.

Bahasa menempati posisi terpenting dalam proses produksi dan distribusi informasi. Isi media notabene merupakan sekumpulan bahasa yang terangkai menjadi satuan-satuan struktural yang dapat dimaknai dan dipertautkan dengan realitas. Kendati demikian, bahasa itu sendiri pada dasarnya adalah realitas tersendiri. Bahasa bukan saja mampu mengkorup realitas sedemikian rupa sehingga ia tidak selalu sama persis dengan realitas yang sesungguhnya, melainkan juga mampu menciptakan citra yang berlebihan terhadap realitas yang sesungguhnya. Bahasa mampu mengkonstruksi realitas, demikian ungkapan yang layak digunakan untuk memperlihatkan bekerjanya bahasa di dalam mereproduksi realitas yang disampaikan pada khalayak melalui media. dalam ungkapan singkat, bahasa memproduksi wacana, yakni ketika suatu informasi direproduksi melalui praktik berbahasa tertentu untuk menghubungkan antara realitas yang diinformasikan dengan khalayak media.

Bahasa dan Representasi: Pergeseran Teoritik

            Kemampuan bahasa untuk memproduksi wacana menjadi satu bahasan menarik untuk dikaji, bukan saja karena penampilan realitas yang boleh jadi berbeda akibat dari pemakaian bahasa, melainkan juga karena pengguna bahasa (media) tak jarang menjadi subyek yang patut dipertanyakan posisinya atas informasi yang direproduksi. Isi media bukan saja menampilkan citra realitas, melainkan sesungguhnya citra media itu sendiri. Oleh karenanya, kajian wacana bahasa menjadi tolok ukur untuk menguji sejauh mana bahasa digunakan di dalam membentuk konstruksi sosial. Informasi yang tersaji dalam bentuk berita misalnya, pada tingkat tertentu dapat mempengaruhi sudut pandang manusia tentang dunia di sekitarnya. Sementara, jika dipahami secara mendetail, berita sendiri pada dasarnya merupakan serangkaian interpretasi yang telah terolah berdasar fakta atau peristiwa. Sehingga untuk mengatakan bahwa berita adalah sebuah entitas obyektif tentu masih menyimpan sejumlah pertanyaan. Di sisi lain, untuk mengatakan bahwa sebuah berita disebut sebagai realitas subyektif murni tentu juga tak beralasan karena untuk menuangkan suatu peristiwa menjadi teks berita tentu menmbutuhkan persyaratan yang disepakati bersama dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Terkait dengan kajian wacana bahasa itu sendiri, pertama kali harus dipahami bahwa model ini merupakan salah satu bagian dari pemikiran yang memandang berita sebagai konstruksi sosial yang bersifat subyektif. Pemikiran tentang wacana memperlihatkan wilayah teoritik tersendiri dalam mengkaji isi media. dalam catatan Eriyanto (2001: 4), setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai keterkitan antara bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama berasal dari kaum posistivisme empiris yang meyakini bahwa bahasa merupakan jembatan antara manusia dengan obyek. Bahasa dianggap sebagai sebuah realitas obyektif yang merefleksikan realitas begitu saja, oleh karenanya sisi subyektif pengguna bahasa diekslusikan sedemikian rupa. Distorsi realitas tentu saja tidak mendapat tempat untuk diperhitungkan dalam pemahaman ini, karena bahasa dianggap telah merefleksikan begitu saja realitas. Dalam kaitannya dengan informasi alias produk media, paradigma posistivisme-empiris meyakini bahwa apa yang dilakukan media seolah sekadar memindah realitas pertama (realitas sosial) ke realitas kedua (realitas media) tanpa tendensi untuk melakukan distorsi.. Seolah-olah, media adalah cermin dari realitas masyarakat yang sesungguhnya. Dalam kajian media, pandangan reflektif ini mendapat tempat melalui analisis isi kuantitatif yang notabene merupakan analisis struktural sederhana yang tak mau terlibat jauh dengan kontek di luar bahasa.

Pada sisi lain, isi media tidak mungkin lagi dilihat sebagai cermin dari realitas. Keyakinan ini muncul dalam paradigma konstruktivisme. Media tidak layak lagi disebut sebagai refleksi, melainkan media sekadar ‘representasi’ apa yang berlangsung dalam masyarakat, sehingga klaim-klaim obyektif untuk memahami bahasa media tidak layak lagi diterapkan. Pikiran manusia membawa konstruksi nilai tertentu yang kemudian dalam mewujud sebagai produk media. Dalam perspektif konstruktivisme, produk media adalah man made; sehingga subyektivitas manusia pembuatnya adalah hal yang wajar terjadi sehingga untuk disebut sebagai realitas obyektif adalah tidak mungkin. Menurut Eriyanto (2001:5), pandangan ini berasal dari tradisi fenomenologi yang menolak pemisahan antara subyek dan obyek bahasa. Subyek atau pengguna bahasalah yang menjadi faktor sentral dalam kegiatan wacana, karena subyeklah yang mula-mula memilih dan menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud tertentu.

Perbedaan klaim dalam memandang produk media boleh jadi memang tak akan berakhir karena berbedanya paradigma yang digunakan. Lantas bagaimana dengan “makna” akhir dari suatu informasi atau produk media? Jika dinaikkan ke tingkat epistemologis, paradigma posistivisme empirik dan paradigma konstruktivis berimplikasi pada sejauh mana tingkat pemaknaan yang dapat dihasilkan praktik berbahasa media. Sebuah informasi akan berbeda makna ketika menengarainya menggunakan paradigma yang berbeda dan sesungguhnya inilah yang menjadi salah satu basis perbedaan pemahaman di antara kedua paradigma tersebut.

Perbedaan cara pandang itu dapat kita tilik dengan menggunakan pola Lasswellian yang mengandaikan komunikasi sebagai who says what in which channel to whom with what effect (McQuail & Windahl, 1993:13-14). Oleh Harold D. Lasswell, komunikasi digambarkan sebagai proses transmisi pesan (isi media/produki media) dari komunikator (media) kepada komunikan (pembaca/khalayak) melalui media dengan efek tertentu. Muncul semenjak tahun 1948, rumusan komunikasi Laswellian bertahan selama puluhan tahun. Model tersebut memperkuat dirinya dengan beragam metodologi yang mengindikasikan sejauh mana pengaruh media terhadap khalayak. Model komunikasi tersebut memperlihatkan perlakuan awal dari perilaku komunikasi pada paruh pertama tahun 40-an yang kurang lebih melibatkan komunikasi sebagai kegiatan persuasif. Secara implisit, dapat dikatakan setiap pesan (isi media / informasi) memiliki efek sehingga dalam kaitannya dengan media massa, komunikasi mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan efek bagi khalayak (McQuail & Windahl, 1993: 14). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa peran penguasaan makna ada pada komunikator. Jika terdapat kegagalan komunikasi, maka diperiksalah letak kegagalan itu pada salah satu unsur yang terdapat pada rumusan itu, entah pada komunikator atau isi pesannya. Maka metode analisis ini (content ananlysis) mendapat sandaran epistemologis dari paradigma ini.

Berbeda halnya dengan pendekatan posistivisme empirik, perspektif konstruktivis justru memperhatikan peran penguasaan makna dari yang semula condong pada komunikator, kini beralih pada komunikan atau receiver. Peran lebih untuk memaknai diberikan kepada penerima pesan yang dalam konteks ini istilahnya bukan lagi komunikan melainkan reader atau ’pembaca’. Setiap khalayak yang dikenai message adalah pembaca. Membalik model komunikasi Laswellian, peran yang aktif dari pembacalah yang kini menentukan makna, sehingga produk media tidak layak lagi menduduki peran sebagai message, melainkan justru sebagai ”teks” yang maknanya akan sangat tergantung kepada kemampuan pembaca untuk menafsirkan. Oleh karenanya, dalam perspektif ini tidak ada lagi apa yang disebut sebagai kegagalan komunikasi, karena komunikator pada hakikatnya telah kehilangan kekuasaan untuk memaksa makna sesuai keinginan. Komunikator boleh saja mempunyai maksud tertentu atas teks yang ditransmisikan, tetapi persoalan pemahaman terhadap makna akhir dari teks akan sangat tergantung pada kemampuan pembaca yang punya kebebasan penuh menafsirkan. Isi dari media bukan lagi sebuah produk yang selalu lentur terhadap perubahan dan perbedaan makna, karena setiap ’reader’ secara bebas memaknai apa yang mereka baca.

Dari perspektif terakhir, pengertian komunikasi pun sewajarnya berubah. Dalam bahasa Fiske, komunikasi adalah produksi dan pertukaran makna (Fiske, 1990: 1). Paralel dengan pengertian itu, sebuah produk media lantas tidak layak lagi untuk disebut sebagai refleksi, melainkan representasi. Konsep mengenai ’representasi’ itu sendiri hadir menempati tempat baru dalam studi komunikasi dan kebudayaan budaya. Tumbuhnya kajian kebudayaan dalam studi ilmu sosial dan humaniora cenderung menempatkan pentingnya makna. Berkaitan dengan komunikasi, secara khusus Alan O’Connor bahkan menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus (O.Connor, 1990: 29). Dari gambaran ini kita dapat mengambil satu pengertian bahwa pemaknaan terhadap teks-teks kebudayaan (termasuk produk media) tergantung pada pemahaman subyektif di antara aktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya.

Realitas yang tampil dalam produk media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias orang-orang yang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena yang diibaratkan seperti gunung es. Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada gilirannya peran pemaknaan oleh ‘pembaca’ menjadi hal penting karena pembacalah yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang (seringkali) tak terlihat itu disebut sebagai ‘memaknai’.

Persoalannya adalah ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi mempunyai otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki sehingga peran pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Pada saat pembaca mempunyai kekuasaan penuh untuk memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa yang melaluinya sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol yang mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pelakunya, atau dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai tanda (Hall, 1997: 5). Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) konsep-konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang ‘membaca’, men-decode atau menginterpretasikan maknanya.

Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa (Hall, 1997:17). Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tanda (sign).

Pada akhirnya, persoalan membaca dan memaknai tanda itu tidaklah hadir dari ruang kosong. Hal ini mengingatkan kita pada pendekatan strukturalisme yang secara khusus memulai pemaknaan dari relasi antartanda. Dalam cakupan yang lebih luas, sebuah teks tidaklah berdiri sendiri. Selalu ada teks-teks lain yang mengiringi teks atau lazim disebut sebagai konteks. Apapun fenomena sosial sesungguhnya bisa disebut sebagai konteks, sepanjang memang masih secara struktural bertalian dengan wilayah tanda yang tengah dibaca. Dalam kaitan ini, kajian komunikasi mampu menembus dimensi lain yang tidak mungkin dijangkau dengan metode hubungan pengaruh yang bersifat positivistik. Terdapat terobosan penting di mana kajian komunikasi menerima linguistik sebagai satu model untuk membaca fenomena lain yang bukan terbatas pada bahasa. Sejumlah konsep yang berasal dari tradisi lingusitik dalam penerapannya ternyata mampu digunakan sebagai model untuk melihat fenomena lain yang fenomena lain yang bukan hanya bahasa; dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai konteks. Pada ranah metodologis, tradisi konstruktivisme melahirkan apa yang disebut sebagai metode analisis wacana (discourse analysis).

Pada aras ini muncul paradigma ketiga yang disebut sebagai pandangan kritis / critical theory (Eriyanto, 2001: 6). Paradigma ini muncul sebagai sebentuk koreksi terhadap paradigma konstruktivisme yang dianggap kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Dalam studi media, meski masih dalam kerangka kerja analisis wacana, paradigma kritis mencoba menggapai sejumlah kemungkinan lain yang mempengaruhi proses produksi dan reproduksi makna. Para penganut paradigma ini percaya bahwa produksi dan reproduksi makna dipengaruhi pula oleh konstelasi kekuatan yang ada di balik teks. Maka bahasa tidak mungkin menjadi medium yang netral dalam merepresentasikan realitas, bahasa sesungguhnya terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena mendapat pengaruh yang sangat kuat dari teori kritis, maka pendekatan wacana pada paradigma terakhir ini disebut sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis / CDA).

Dari sinilah sesungguhnya diskusi mengenai ekonomi dan politik media akan kita mulai. Pada saat seluruh fenomena sosial –termasuk fenomena ekonomi dan politik- berkelindan membentuk jalinan makna teks, maka samar-samar sisi ekonomi dan politik media mulai kelihatan di balik isi media. Sebagaimana halnya isi media, media pun sebagai sebuah lembaga ekonomi tidaklah hadir dalam ruang kosong. Media acapkali menjadi ajang pertarungan bagi kepentingan ekonomi dan politik tertentu. Persoalannya adalah bahwa metode struktural murni yang kerap diwakili oleh analisis semiotika dan analisis wacana konvensional belum tentu cukup untuk dijadikan sebagai penjalin analisis di dalam rangka menemukan keterikatan maupun kepentingan ekonomi politik dari media. Terdapat sejumlah keterbatasan pada saat analisis struktural konvensional hanya menyelami konteks ’bahasa’ semata tanpa terlalu jauh menyentuh aspek lain di luar bahasa.

Dalam perjalanannya, analisis semiotika mengalami perkembangan yakni di perluasannya yang mencakup konteks ’bahasa’. Kenyataannya praktik penggunaan bahasa dalam seringkali mengandung unsur politis, sehingga mengandaikan bahasa sebagai sebuah satuan struktural yang bebas dari kepentingan politik adalah sebuah pandangan yang bukan saja naif, melainkan justru menyingkirkan bahasa itu sendiri dari potensinya yang layak untuk dianalisis dari sudut pandang politik dan ekonomi. Maka perhatian analisis struktural yang memandang bahasa sebagai wilayah apolitis pelan-pelan tergantikan dengan gaya baru analisis struktural yang menandaikan bahasa sebagai sebuah alat politik sekaligus ekonomi. Pada aras ini, metode penelitian semiotika mulai ditinggalkan, dan muncullah metode analisis baru yang disebut sebagai analisis wacana media (discourse analysis).

Berangkat dari bahasa, analisis mutakhir ini memampukan dirinya untuk memahami bagaimana realitas dibingkai alias direproduksi dan didistribusikan ke khalayak ’pembaca’. Produk media adalah sebentuk konstruksi sosial yang melaluinya pembaca merumuskan pandangannya tentang dunia. Analisis ini memampukan pembaca melakukan rekonstruksi, bukan hanya peristiwa atau informasi yang disajikan oleh produk media, melainkan juga aspek politis bahasa. Dan ini adalah sebuah kerja yang sangat menarik, seorang pembaca beranjak dari perspektif mikro menuju makro, dari wilayah struktur bahasa ke struktur kognitif pelaku representasi (media). Lazimnya, analisis ini bekerja menggali praktek-praktek bahasa bawah sadar (undermine) untuk menemukan posisi ideologis dari narasi, dan mempertautkannya dengan struktur yang lebih luas. Dengan demikian metode analisis wacana media merupakan salah satu model analisis kritis yang memperkaya pandangan pembaca bahwa ada keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik. Keterkaitan ini dapat dimunculkan pada saat analisis wacana bergerak menuju pertanyaan tentang ’bagaimana’ bahasa bekerja dalam konteks tertentu dan ’mengapa’ bahasa digunakan dalam konteks tertentu dan bukan untuk konteks yang lain.


Bahasa dan Ekonomi Politik Media: Dari Teks ke Ideologi?

        Dengan analisis wacana media, maka pemikiran kritis dalam keilmuan sosial mendapatkan tempat untuk diadopsi. Selain sebagai semacam alat ukur, pemikiran kritis menyediakan beragam perspektif baru yang acapkali tak terduga, karena jalinan produksi, distribusi dan konsumsi teks nyatanya bukan saja melayani kepentingan ekonomi produsennya. Bahkan kepentingan politik dari ’sang pengarang’ pun lazim dijumpai. Pada akhirnya posisi ideologis ’sang pengarang’ (the author) lazimnya dapat ditilik dari analisis wacana. Sehingga posisi pembaca pada dasarnya adalah mengkritisi realitas lain yang tersembunyi dari teks. Realitas itu biasanya tetap tersembunyi, dan sepanjang kejelian untuk menemukannya akan menghadirkan jalinan ideologis yang hadir di balik representasi produk media.

Pada saat kita berupaya untuk memahami relasi antara sistem ekonomi dan politik yang berkelindan dalam proses produksi dan distribusi produk media (bahasa), maka sesungguhnya ’pembacaan’ atau ’pemaknaan’ yang kita lakukan itu telah masuk dalam wilayah ekonomi politik media. Berjalinnya semangat ekonomi dan politik dalam teks memungkinkan terintegrasinya bahasa ke dalam proses ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam masyarakat. Ekonomi politik media komunikasi / media berupaya untuk membuat media bukan hanya sebagai pusat perhatian pokok, melainkan sebagai bagian dari suatu struktur yang terkait dengan ekonomi dan politik. Oleh karenanya, memulai kajian ekonomi politik media dari kajian bahasa media merupakan sebentuk analisis kritis, karena dari analisis teks dimungkinkan munculnya perhatian pada kritisisme terhadap aspek ekonomi dan politik media. Maka bukan hal aneh jika Mohammadi dan Mohammadi menyatakan bahwa sudut pandang ekonomi politik media merupakan bagian dari perspektif kritis selain cultural studies, teori kritis Frankfurt School, teori resepsi pesan, dan semiotika. (Downing, 1990: 15). Ambillah satu contoh, bagaimana kajian dari penggunaan bahasa tertentu oleh media tertentu memunculkan pertanyaan: mengapa isu tertentu ditenggelamkan dengan penggunaan bahasa tertentu di media X, sementara yang lain kok tidak, atau oleh media lain justru dimunculkan secara terang-terangan? Mengapa pemberlakuan sensorship dilakukan dengan cara itu? Siapa pemiliknya? Bagaimana dinamika politis dari bahasa media X? Seribu satu pertanyaan dapat dimunculkan untuk sekadar mempertalikan wilayah bahasa dengan ekonomi dan politik media.

Dari struktur bahasa ke struktur eknomi dan politik. Demikian kira-kira alur pertanyaan yang layak dikedepankan dalam melihat teks sebagai sebuah infrastruktur kepentingan ekonomi dan politik. Dari sekadar pertanyaan sekitar bagiamana bekerjanya struktur bahasa dan struktur kognitif creator-nya, perhatian ekonomi politik media kemudian beralih kepada sejauh mana kepemilikan, kontrol dan kekuatan operasional pasar media. Dari sudut pandang ini, perhatian perspektif ekonomi olitik media mengarah pada sejauh mana produksi dan pertukaran isi media berlangsung di dalam situasi ekonomi dan politik tertentu. Menjadi satu rahasia umum, bahwa kekuatan pemilik modal dan pembuat kebijakan media mempunyai pengaruh langsung terhadap produksi dan distribusi bahasa media. Mengambil satu contoh, bagaimana wacana bahasa media pada masa Orde Baru dahulu cenderung dicirikan dengan eufemisme. Di satu sisi, eufemisme adalah gejala struktural teks, sementara tekanan politik dan kepentingan bisnis pemilik media adalah konteksnya. Kenyataannya, dengan membaca konteks itu, pembaca akan mafhum bahwa ternyata kepentingan politik penguasa dan kepentingan ekonomi pemilik modal mengambil peran utama dalam penciptaan eufemisme. Konon, dalam bahasa Ben Anderson, realitas eufemistik dalam bahasa Orde Baru sejatinya adalah penyembunyian terhadap realitas yang sesungguhnya begitu ‘keras’ (Latif dan Ibrahim, 1996: 36). Bahasa eufemistik sebenarnya bukan hanya menutupi realitas yang sesungguhnya, melainkan menciptakan realitas baru bagi penciptanya. Penyembunyian realitas itu sesungguhnya menampilkan ideologi dari pemakai bahasa alias produsen media.

Akan halnya dengan ideologi sendiri, terdapat banyak varian pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana sesorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Varian lain dapat pula diambil dari Marxisme klasik yang menggambarkan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness) yang diabadikan oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat (Littlejohn, 1996: 228). Pengertian lain dapat pula diambil dari post-Marxisme yang menjadi cikal bakal teori kritis.

Teoritisi kritis kontemporer cenderung percaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat. Ideologi bukan sesuatu yang pejal, rigit dan diperjuangkan dalam suasana heroik sehingga seakan terpisah dari sistem sosial masyarakat. Dalam pandangan terotisi kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa, sehingga apa yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Ambillah misalnya pendapat seorang penganut Marxis terkenal, Louis Althusser, yang menyatakan bahwa ideologi tampil dalam struktur masyarakat dan timbul dalam praktik nyata yang dilakukan oleh beragam institusi dalam masyarakat (Littlejohn, 1996: 29). Pemikiran Althusser ini mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme, terutama atas pandangan yang mengatakan bahwa esensi ideologi dapat ditengarai melalui struktur bahasa. Ideologi bermain di belakang penetapan representasi. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana bekerjanya sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi kata-kata kunci untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga untuk membongkar bahasa ideologis maka sebuah representasi harus dibongkar terlebih dahulu strukturnya, kemudian makna dipertalikan dengan keberadaan struktur sosial yang melandasi penggunaan struktur bahasa (prinsip intertekstualitas)

Tentu saja tak ada yang benar-benar obyektif di sini, kita tidak dapat mengatakan bahwa pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahnya struktur boleh jadi akan mengubah makna ideologis, karena dalam term Althuserrian ideologi ditentukan oleh strukturnya (Takwin, 1999). Sehingga ideologi merupakan realitas subyektif yang hadir di masyarakat, lentur, cair dan siap berubah. Ideologi hadir dalam tiap orang sebagai sesuatu yang sifatnya halus dan seringkali tidak disadari, sehingga ideologi tidak lagi dipandang dalam tradisi Marxisme klasik yang mengatakannya sebagai kesadaran palsu (false conciousness). Ini yang kemudian membedakan pengertian ideologi antara Marx dan Althusser. Tokoh terakhir ini justru memaknai ideologi sebagai ketidaksadaran yang begitu mendalam (profoundly unconciousness) yang praktiknya dalam diri manusia berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh, Althusser melihat bahwa ideologi seringkali disebarkan oleh struktur sosial seperti yang ia sebut sebagai ideological state apparatus / ISA dan reppresive state apparatus / RSA (Althusser, 1994: 151). Melalui gagasannya ini Althusser hendak mengatakan bahwa seluruh lembaga sosial dan politik terlibat punya andil dalam penyebaran ideologi dan dominasi distribusi makna. Melalui Althusser, sebuah model analisis struktural dapat dikembangkan pada penglihatan pada bagimana bekerjanya hubungan kekuasaan antar struktur masyarakat, yang, tentu saja sebatas penggunaannya pada bahasa. Media, sebagai bagian struktur yang berurusan dengan bahasa seringkali ditunjuk sebagai biang keladi dari penyebar ideologi. Dalam paandangannya, media komunikasi merupakan communication ISA, di mana mereka bekerja pada wilayah privat atau tanpa menggunakan kekerasan fisikal. Kerja ideilogi pada wilayah ini berlangsung seperti halnya proses cuci otak yang menenggelamkan kesadaran masyarakat sehingga masyarakat dibawa pada ketidaksadaran yang begitu mendalam.

Teori Althusser memang dibangun dari tradisi Marxis tentang ideologi sebagai kesadaran palsu, yang mana penekanan pran ideologi dalam memelihara kekuatan politik maupuh ekonomi berkaitan dengan penggunannya yang non koersif. Seorang Marxis dari generasi kedua, Antonio Gramsci, kemudian memperkenalkan konsep ideologi ini dalam istilah yang berbeda: hegemoni. Singkatnya, hegemoni merupakan upaya pemenangan yang terus-menerus (winning and rewinning) konsensus secara tetap bagi mayoritas bagi sistem yang berada di bawahnya (Kleden, 1987: 176). Gramsci sendiri memandang bahwa masyarakat terdiri atas dua struktur utama, yakni kelas dominan dan kelas subordinat. Kelas dominan dinyatakannya sebagai kelas yang leading dan dominant. Yang pertama menunjuk pada kepemimpinan dari kelas berkuasa untuk menunjuk pada “musuh” bersama, sedangkan yang kedua adalah dengan mendominasi musuh bersama itu (Gramsci, 1994: 215). Konsep tentang musuh dan kawan di dalam hegemoni merupakan kerja ideologis, karena dia ditetapkan oleh kelas yang berkuasa melalui konsensus. Dalam kaitannya dengan kerja media, media merupakan alat untuk memperjuangkan konsensus agar sesuai benar dengan keinginan penguasa di dalam menentukan siapa kawan siapa lawan, apa yang baik dan apa yang buruk.

Dalam konteks politik media, Gramsci meletakkan pengertian hegomoni ini dalam dua arti yakni dalam tindak kekerasan dan penguasaan intelektual. Dalam arti yang terakhir, Gramsci menempatkan kerja ideologi sebagai alat untuk melumpuhkan kesaran kritis masyarakat. Dan media adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk memaksakan ideologinya. Dengan konsep hegemoni ini, Gramsci menolak ideologi sebagai hasil kreasi individu yang arbitrer dan psikologis. Publik alias ‘pembaca’ sesungguhnya tidak mempunyai kebebasan untuk memaknai apa yang mereka ‘baca’, karena makna telah dipaksakan ke benak melalui struktur bahasa. Dari sudut pandang politik media, hubungan media vis a vis negara ini sangat mungkin memperlihatkan bekerjanya media sebagai pelayan kepentingan ideologi negara selaku kelas paling dominan dalam struktur politik. Suatu saat media sangat mungkin memproduksi serangkaian ideologi yang terpadu, merangkai nilai dan norma yang masuk akal, kendati itu sebenarnya hanyalah untuk melegitimasi struktur sosial politik di mana kelas yang dikuasai pada akhirnya secara tidak sadar berpartisispasi dalam lingkungan kelas dominan. Dalam bahasa Gitlin, hegemoni berlangsung melalui “keahlian sistematik untuk menegakkan ‘aturan’ melalui persetujuan massa” (Shoemaker dan D. Reese: 1996: 237).


Wacana Media Dalam Perspektif Ekonomi Politik

Bagaimana konstelasi media di tengah situasi ekonomi dan politik? Itu barangkali merupakan pertanyaan terakhir yang harus dijawab pada saat seorang reader hendak mengakhiri pembacaan terhadap produk media. Makna akhir dari sebuah “pembacaan” sebenarnya adalah sebuah gambaran tentang sejauh mana media mengambil posisi di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi dalam seting kepemilikan (ekonomi) dan seting kekuasaan (politik). Wilayah ini barangkali adalah abstraksi yang paling advanced. Penelusuran dari taraf mikro (tekstual) tiba-tiba dihadapkan pada serangkaian konsep teoritik tentang relasi sosial, ekonomi dan jalinan kekuasaan yang berlangsung dalam produksi dan distribusi bahasa media. Dalam menjelaskan relasi ini, Vincent Mosco menawarkan tiga konsep penting untuk mendekatinya yakni: komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization) dan strukturasi( structuration) (Mosco, 1996:139).

Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Memang terasa aneh, karena produk media umumnya adalah berupa informasi dan hiburan. Sementara kedua jenis produk tersebut tidak dapat diukur seperti halnya barang bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi konvensional. Aspek tangibility-nya akan relatif berbeda dengan ‘barang’ dan jasa lain. Kendati keterukuran tersebut dapat dirasakan secara fisikal, tetap saja produk media menjadi barang dagangan yang dapat dipertukarkan dan berilai ekonomis. Dalam lingkup kelembagaan, awak media dilibatkan untuk memproduksi dan mendistribusikannya ke konsumen yang beragam. Boleh jadi konsumen itu adalah khalayak pembaca media cetak, penonton televisi, pendengar radio, bahkan negara sekalipun yang mempunyai kepenyingan dengannya. Nilai tambahnya akan sangat ditentukan oleh sejauh mana produk media memenuhi kebutuhan individual maupun sosial.

Spasialisasi, berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Pada aras ini maka struktur kelembagaan media menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media di hadapan khalayak. Perbincangan mengenai spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah berbentuk korporasi yang berskala besar atau sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak, apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Acapkali lembaga-lembag ini diatur secara politis untuk menghindari terjadinya kepemilikan yang sangat besar dan menyebabkan terjadinya monopoli produk media. Sebagai contoh, diterbitkannya UU Penyiaran No 32 tahun 2002 merupakan satu bentuk campur tangan politik untuk meniadakan monopoli informasi dan kepemilikan modal. Undang-undang ini juga mensyaratkan agar ke depan tidak ada lagi televisi nasional yang siaran di daerah sebelum berjaringan dengan stasiun televisi lokal. Secara politis, kebijakan ini dijalankan untuk menjamin diversity of content, karena sepanjang stasiun televisi nasional masih beroperasi di daerah, maka muatan siarannya hanya akan didominasi oleh muatan dari ‘pusat’. Sementara di sisi lain, secara ekonomi diberlakukannya undang-undang ini adalah untuk memancing hadirnya media-media baru di tingkat lokal. Sehingga ke depan terjadi diversity of ownership. Ini akan berbeda dengan kondisi sekarang dimana kepemilikan media televisi nampaknya hanya dikuasai oleh sebagian kecil pemilik modal yang berbasis di pusat politik.

Terakhir, strukturasi berkaitan dengan relasi ide antaragen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens (Mosco, 1996: 212).

Terdapat sejumlah pandangan krusial ketika kita menempatkan berkelindannya media dengan dimensi ekonomi politik. Jika Mosco menawarkan tiga perspektif, maka Peter Golding dan Graham Murdock (dalam James Currant & Michael Gurevitch, 1991: 15) membagi perspektif ekonomi politik media ke dalam dua perspektif besar yakni perspektif liberal dan perspektif kritis. Perspektif liberal akan cenderung memfokuskan pada isu pertukaran pasar dimana konsumen akan secara bebas memilih komoditas media media sesuai dengan tingkat kemanfaatan dan kapuasan yang dapat mereka capai berdasarkan penawaran yang ada. Semakin besar pasar memainkan peran, maka semakian luas pula pilihan yang dapat diakses oleh konsumen. Sebagai sebuah produk kebudayaan, media harsu diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk dimiliki oleh siapapun secara bebas dan tak kenal batas.

Golding dan Murdock kemudian lebih memberatkan kajian ekonomi politik media dari perspektif kedua, yakni perspektif kritis. Pertimbangannya adalah bahwa media semestinya dilihat secara lebih holistik, karena produksi, distribusi dan konsumsi media berada dalam sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang strukturnya saling mempengaruhi. Boleh jadi media kemudian mengambil peran di dalam di dalam mendominasi isi pesan dan melegitimasi kelas dominan. Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensinya terhadap komodifikasi produk media. Pada aras inilah maka sesungguhnya perbincangan mengenai ideologi, kepentingan kekuasaan mendapat tempat. Dalam sudut pandang Marxis, preferensi pemilik modal memampukan lembaga media mengambil peran sebagai penyebar kesadaran palsu yang meninabobokan khalayak (reader). Atau, media dapat digunakan untuk melancarkan hegemoni dengan menutupi atau merepresentasikan kepentingan kelas berkuasa. Pada wilayah terakhir ini, produksi teks hakikatnya merupakan bentuk latent dari kekuasaan yang bekerja dalam lembaga media.

                                                                                                 ******

SENARAI PUSTAKA ACUAN

Currant, James and Michael Gurevitch, Mass Media and Society, Edward Arnold, London, 1991

Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LkiS, Yogyakarta, 2001.

Fiske, John,Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990.

Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997.

Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987

Latif, Yudi dan Idi Subandi Ibrahim, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Mizan, Bandung, 1996.

McQuail, Denis & Sven Windahl, Communication Models For The Study of Mass Communications, Longman, London, 1993.

Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996.

Mosco, Vincent The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, Sage, London, 1996

Storey, John (ed.), Cultural Theory and Popular Culture, Harvester Wheatsheaf, New York, 1994

Shoemaker, Pamela J. & Stephen D. Reese, Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content, Longman, 1996

Takwin, Bagus: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, dalam Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.


[1] Staf pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Tulisan ini diterbitkan dalam Jurnal Komunikasi UII Volume 1 Nomor 1, Oktober 2006.

10 responses to “Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media

  1. ekonomi politik media duh ap ya…
    blm ngerti tuch cz baru balajar semester 6 ini…
    nah dosennya ini yg nulis blog ini pak anang..

    sukses buat pak anang…

  2. Saya suka artikel Bung Anang. Sekarang saya sedang menulis skripsi tentang discourse anallysis. Saya pengen….sepengen pengennya conrtact Bung Anang buat discuss masalah saya.
    I’m looking forwrd to it
    Tengkyu…..

  3. kayaknya ada satu lagi yang monta dibimbing.
    saya juga sedang menulis skripsi tentang analisa media

  4. assalamualaikum wr wb

    blog ini memberikan informasi yang sya butuhkan untuk TA krn sya meneliti tentang Kuasa kepemilikan media.

    kebetulan pk Anang adL dosen pembimbing sya.
    suksess buat pk Anang

    sya sangat mebutuhkan teori2 apa sja yang relevan dpakai dlm ekopol??
    sya mohon bimbingan na
    trimakasii

    wassalamualaikum wr wb

  5. let me request something that could probably migth adapt to this real world particularly in global economics politic..i would be pleased if u could make a particular article on economy politic in term of current problems especially focus on asean politics environment..malaysia-indonesia probably, but not american politic which only burden up in term of real implementation..atleast i could adapt it in hometown soon
    love to read it sooner or later..thanx lot

  6. bagus sih pak anang, uraiannya
    tentang ekonomi poltik media.
    apa benar inti dari tulisannya berkisar pada idiologi dari penguasa media?
    atau media sebagai representasi penguasa

    tx ya pa anang

  7. saya sgt tertarik sm ekopolmed…
    di kmpusku matkul itu uda kelar smt5, tp ku pgn bgt bisa gunakan pendekatan eko-pol-med buat skripsi saya…
    tp sayangnya, di kmpus saya dosennya jg ngaku baru blajar ttg ilmu yang tergolong baru di dunia ilmu komunikasi tsb.

    kalo pak anang sedia bimbing saya,
    step by step. wah alangkah bahagianya saya…

  8. asslmkm, wr, wb.
    saya tercengang ketika membaca artikel ini, karena rupanya inilah artikel yang saya perlukan. selain itu saya juga merasa sangat berkeinginan untuk berdiskusi langsung dengan bapak Anang Hermawan, itupun jika bapak berkenan membalas email saya..
    Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensinya terhadap komodifikasi produk media (kalimat yang saya ambil dari artikel bapak)
    komodifikasi berita adalah penelitian yang saya sedang lakukan saat ini,untuk itu mohon kiranya bapak membalas email saya..
    terima kasih
    wasalm..

  9. CDA emang unik, tapi agak pusing juga waktu nerapin dalam skripsi. maksih ya udah share, jadi bahan referensi neh..

  10. salam kenal, jika ada kesempatan kunjungi blog saya si bujang lapuk thx..

Tinggalkan Balasan ke dyah Batalkan balasan